“Aku dapat surat!!!”
“Mana? Mana?”
Kelas menjadi ricuh setelah salah seorang temanku berteriak memamer-mamerkan surat yang didapat di dalam lacinya dari Snow Angel-nya. Jujur aku sangat iri, soalnya sudah dua hari ini Snow Angel-ku tidak mengabari apapun padaku. Padahal pada hari-hari yang lalu, Snow Angel-ku sangat rajin mengabariku. Memang sih Snow Angel tidak dituntut harus mengabari dan membahagiakan Serpihan Salju-nya tiap hari, tapi setidaknya aku ingin selalu diperhatikan.
“Kenapa setiap aku ke kelasmu teman-temanmu selalu ribut, Al?” Shaira bertanya padaku dengan wajah polosnya. Shaira adalah sahabatku, dia selalu datang ke kelasku setiap jam istirahat. Maklum kelas kami berbeda. “Apa sih yang mereka ributkan?”
“Ini sebuah permainan!” jawabku singkat. “Nama permainannya itu Serpihan Salju. Di dalam permainan ini, setiap orang memiliki dua peran. Yang pertama, Serpih Salju, yaitu orang yang harus kita bahagiakan jika kita menjadi Snow Angel-nya. Yang kedua, Snow Angel, yaitu orang yang akan membahagiakan Serpih Saljunya. Untuk penentuan Serpih Salju dan Snow Angel-nya dilakukan secara acak. Sedangkan lama permainan tergantung dari pihak yang bermain, contohnya satu minggu atau satu bulan” jelasku pada Shaira.
“Pemenangnya?” tanya Shaira untuk yang kedua kalinya.
“Snow Angel yang sampai akhir permainan tidak diketahui identitasnya oleh Serpih Saljunya dan dapat membahagiakan Serpih Saljunya sampai akhir” jawabku tersenyum simpul.
“Terus siapa yang jadi Serpih Saljumu? Dan kamu tahu tidak siapa Snow Angel-mu?” Shaira menatapku lekat-lekat, seakan-akan yakin kalau aku akan menjawab pertanyaannya itu.
“Ah… sudah deh! Kamu banyak tanya amat, sih! Sana kembali ke kelasmu! Sebentar lagi jam istirahat selesai ‘kan?!” Kucoba mendorong Shaira sampai ke ambang pintu kelasku, tapi dia bersikeras untuk tetap berada di kelasku.
“SHAIRA!!!” tampak wajah kaget Shaira mendengar suaraku yang melengking tajam.
“Sungguh aku sedang TIDAK ingin bermain-main saat ini, kumohon…” kurendahkan suaraku dengan memberikan sedikit penekanan pada kata ‘tidak’ agar Ia mengerti. Akhirnya Ia mengalah.
“Iya…Iya…!” dengan muka cemberutnya, Ia kembali ke kelasnya. Bukannya aku tidak mau mengatakan siapa Serpih Salju dan Snow Angel-ku pada Shaira, hanya saja terlalu sulit untuk dipercaya jika kukatakan. Serpih Saljuku adalah Rizkal, orang yang sangat amat kubenci di muka Bumi ini. Kenapa harus dia sih? Aku masih ingat dengan jelas peristiwa beberapa hari yang lalu sebelum permainan ini dimulai, yaitu detik-detik saat Ia melontarkan kata cewek murahan kepadaku hanya karena aku mau saja menerima ajakan seniorku untuk kencan sebagai ganti aku tidak bisa datang ke pesta ulang tahunnya. Dan walaupun permainan ini sudah berjalan tujuh hari dan esok adalah hari penentuan terakhirnya, tapi tidak sedikit pun rasa kebencianku berkurang kepadanya. Bahkan aku tidak pernah membuatnya bahagia walau hanya sekali dalam permainan ini. Jangankan melakukannya, memikirkannya pun aku tidak mau. Dan lebih parahnya, sampai detik ini aku masih saja belum tahu siapa Snow Angel-ku. Walau sebenarnya aku punya dugaan siapa sang Snow Angel-ku itu. Aku menduga Snow Angel-ku itu… ah, tidak mungkin, ya, tidak mungkin dia. Kuharap bukan dia orangnya.
Setibaku di rumah, aku menemukan sebuah kotak besar berbungkus kertas hitam di depan pintu rumahku. Di atasnya tertulis Untuk Alya Prasamya. Hah? Untukku? Dalam sekejap aku merasakan kejanggalan di dalam hatiku, tapi tetap saja aku membawa kotak itu masuk ke dalam rumah, bahkan ke dalam kamarku.
“Apa ya isinya?” aku menerka-nerka isi kotak besar itu. “Buka nggak, ya?” Perasaan curiga dan takut bercampur aduk di dalam hatiku. Dengan memberanikan diri kubuka kotak itu. Di dalam kotak itu kutemukan sebuket bunga mawar merah, sebatang coklat, dan sepucuk surat. Melihat hadiah-hadiah itu aku semakin penasaran siapa orang yang mengirimkannya padaku. Akhirnya, karena sudah tidak bisa menahan rasa penasaraanku, kubuka surat tersebut.
Teruntuk Nona Alya,
Maaf jika aku berlaku tidak sopan dengan mengirimkanmu hadiah-hadiah itu padamu. Tapi ketahuilah itu kuberikan sebagai rasa minta maafku karena tidak bisa mengabarimu dua hari belakangan ini. Kuharap kau mengerti.
Yang Selalu Memperhatikanmu,
Snow Angel-mu
Membaca surat itu membuat jantungku berdegup cepat, pipiku memerah, dan membuatku semakin penasaran, siapa sebenarnya Snow Angel-ku itu.
Akhirnya tiba juga hari yang kunanti-nantikan. Sepulang sekolah, aku dan teman-teman sekelasku mengadakan pertemuan Open Your Heart, yaitu semacam musyawarah untuk membuka kedok sang Snow Angel dari tiap Serpih Saljunya. Di sini setiap orang wajib mengatakan siapa Serpih Saljunya. Tiba giliranku, dengan acuh tak acuh dan raut muka sinis kukatakan bahwa aku adalah Snow Angel dari Rizkal. Saat itu aku merasa puas dan berhasil membalas rasa sakit hatiku selama ini terhadapnya. Tiba giliran Rizkal. Sebenarnya aku tidak peduli siapa Serpih Saljunya. Tapi tetap saja aku harus mendengar pengakuannya.
“Aku adalah Snow Angel dari Alya Prasamya” Aku terbelalak.
“APA? Itu bohong ‘kan? Aku, aku tak percaya! Kau pasti bohong!” Aku berlari meninggalkan ruangan itu dengan perasaan kacau. Aku tidak bisa memikirkan apapun. Kepalaku kosong, Aku tidak bisa percaya bahwa orang yang menjadi Snow Angel-ku adalah Rizkal. Rizkal yang sangat kubenci. Kenapa harus dia lagi? Kenapa dugaanku harus benar? Aku tidak bisa menerima kenyataan ini, dia sangat baik padaku, tapi aku? Jika kupikirkan kembali, memang benar, kata cewek murahan sangat sakit untuk didengar, tapi dibandingkan dengan 16 tahun lamanya kami bersama. Rasanya sangat tidak adil jika aku membencinya. Padahal dia satu-satunya sahabat lelakiku sejak kecil. Aku tidak boleh begini terus, aku harus minta maaf. Tapi bagimana caranya?
“Alya” Suara Rizkal menghentikan langkahku dan dengan refleks membuatku berbalik menghadapnya.
“Ri, Rizkal? A, ada apa?” dengan gugup kurespon panggilannya. Sungguh aku tidak tahu harus berbuat apa. Oh, tuhan! Apa yang harus kulakukan?
“Ng, ini soal…” Rizkal mulai angkat bicara.
“Cukup, hentikan!!!” dengan segera aku berlari meninggalkannya. Aku tidak bisa, aku tidak bisa mengatakan maaf, aku tidak bisa menatap matanya, aku terlalu malu terhadap diriku sendiri. Ya, Tuhan! Bagaimana ini? Akankah seperti ini terus selamanya? Aku tidak mau!
“Alya! Alya!” Sambil tetap meneriakkan namaku Rizkal terus mengejarku. Berusaha menghentikan langkahku. aku ingin berhenti tapi, gengsiku membuatku mengurungkan niat itu. Aku terus berlari tanpa memedulikan Rizkal yang memanggil-manggil namaku.
“Kyaaaaaaa…” aku terpeleset saat menuruni tangga yang ada di depanku. Tidak, Aku akan jatuh! Tiba-tiba Aku merasakan tangan seseorang menangkap tubuhku yang nyaris jatuh menghantam bumi.
“Dasar bodoh! Kau membuatku panik setengah mati. Kau itu anak yang ceroboh, sejak kecil sampai sekarang tidak pernah berubah. Jika seandainya aku tidak menangkapmu di saat yang tepat, aku tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan kepada orangtuamu. Bodoh!” Rizkal memelukku dengan erat, tangannya gemetaran. Ternyata dia betul-betul mencemaskanku.
“Aku tidak bermaksud membuatmu cemas… maaf Rizkal!” Aku membalas pelukannya. “Aku betul-betul minta maaf, karena sudah memusuhimu selama seminggu ini… aku tahu aku egois… tapi perkataanmu juga sangat menyakitkan, bodoh!” Pandanganku memburam, aku baru sadar air mataku meleleh membasahi pipiku.
“Ya, aku memang bodoh!” Rizkal melepaskan pelukannya “Karena cemburu berlebihan saat melihatmu dengan senior itu, aku malah mencemohmu dengan kasarnya, sampai-sampai membuatmu menangis. Aku betul-betul minta maaf atas sikap kasarku itu. Maafkan aku yang bodoh ini. Sudah, jangan menangis lagi, Alya lebih manis kalau tersenyum” kuperlihatkan senyuman termanisku padanya, walaupun aku nyaris tidak bisa melihat wajahnya karena air mataku terus mengalir. Tapi aku tahu Rizkal membalas senyumanku.
“Kau tahu mengapa permainan ini dinamakan Serpihan Salju?” sambil memperbaiki posisi kacamatanya Ia bertanya padaku.
“Memangnya kamu tahu?” Jawabku sembari menghapus air mataku.
“Mau tahu?” Rizkal melirik kearahku. Aku mengangguk pelan. “Agar setiap orang yang bermain di dalamnya bisa lebih mengenal satu sama lain…”
“Hanya itu?” potongku.
“Hey, jangan seenaknya memotong pembicaraan orang lain!” Rizkal menepuk kepalaku “Dan bisa mencairkan serpihan salju yang berada di dalam hati setiap orang” Sambungnya tersenyum lembut.
Ya, kuakui itu memang benar. Toh, sudah terbukti bahwa aku bisa berbaikan lagi dengan Rizkal, karena serpihan salju yang berada di dalam hatiku terhadapnya sudah mencair tanpa kusadari. Terkadang pertengkaran membuat kita melihat dengan sebelah mata dan berselisih jalan, tapi dengan adanya pertengkaran itu kita bisa lebih mengenal orang lain, bahkan lebih dekat dengannya.
“Kau kenapa senyum-senyum sendiri?” suara Rizkal membuatku sadar dari alam khayalku.
“Ah, tidak…” kugelengkan kepalaku sambil tersenyum melihatnya “Hanya saja… aku bersyukur bisa tetap berteman denganmu. Oh,ya! Ngomong-ngomong, apa maksudmu dengan ‘cemburu berlebihan’?”
“Hah?” muka Rizkal nampak merah padam “Cari tahu saja sendiri… dasar cewek lemot!” Rizkal mengalihkan pandangnnya dariku.
“Jahat! Rizkal pelit!” aku membelakanginya, berharap dia akan luluh dan memberitahuku maksud dari ucapannya itu.
“Mau sampai kapan kau di situ? Nanti kutinggal loh!” teriak Rizkal dari jarak yang cukup jauh.
“Hey! Jangan tinggalkan aku!” Aku bergegas mengejarnya “Rizkal kasih tahu dong!” Rizkal hanya tersenyum melihatku yang berusaha mati-matian mengejarnya. Benar-benar cowok menyebalkan setidaknya berhenti berjalan kek. Tiba-tiba, Ia menghentikan langkahnya dan berbalik menghadapku.
“Eh, apa? Kau mau memberitahuku?” dengan malu-malu Rizkal mengangguk perlahan, kemudian Ia menarik nafas dan menghembuskannya. Nampaknya sulit sekali untuk mengatakannya.
“Ok, aku bisa. Alya, sebenarnya selama ini aku…”
1 komentar:
Halaman tukar link mana ya.. aku cari2 kok gak ada. Tukar linknya donk...
Posting Komentar